Kamis, 20 September 2012

Roro Ayu (Ibu) Mas Semangkin

MASA KECIL IBU MAS & GEJOLAK POLITIK
Roro Ayu Mas Semangkin, yang kemudian lebih dikenal Ibu Mas atau bergelar Ratu Mas Kagaluhan adalah puteri kedua dari Pangeran Haryo Bagus Mukmin (Sunan Prawoto) cucu dari Sunan Trenggono dan cicit dari Raden Patah. Sunan Prawoto adalah cucu dari Raden Patah putra dari Sultan Trenggono ( Raja ketiga dari Demak Bintoro) dengan Rr. Ayu pembayun putri Sunan Kalijaga yang dikaruniai sepuluh anak. Sedangkan Pangeran Haryo Bagus Mukmin memiliki keturunan tiga orang anak yakni P.Haryo Panggiri (Pangeran Madepandan) yang bergelar Sultan Ngawantipura, Rr. Ayu Mas Semangkin dan Rr. Ayu Mas Prihatin.

Pada saat kelahiran Rr. Ayu Mas Semangkin di Kerajaan Demak Bintoro sedang terjadi kemelut politik disebabkan wafatnya Sultan Trenggono (1546 M). Suksesi pergantian kepemimpinan pasca wafatnya Sultan Trenggono tidak dapat berjalan mulus dikarenakan terjadi konflik di Kerajaan Demak Bintoro., Faktor penyebab konflik dari intern (dalam kerajaan) dan factor ekstern (perbedaan pandangan dari para wali sembilan tentang calon pengganti Sultan Trenggono).

Konflik intern Kerajaan Demak terjadi karena adanya rasa dendam berebut kekuasaan dari keturunan Pangeran Sedo Ing Lepen yang dibunuh oleh Sunan Prawoto (Putera Sulung Sultan Trenggono) ternyata meninggalkan duri dalam hati keturunan Pangeran Sekar Sedo Ing Lepen, puteranya yang bernama Arya Penangsang merasa lebih berhak menduduki tahta kerajaan, sebab dia beranggapan bahwa yang menduduki kursi mahkota tersebut adalah ayahnya, bukan Sultan Trenggono karena Pangeran Sekar adalah kakak dari Sultan Trenggono dan adik dari Patih Unus atau Pangeran Sabrang Lor (Sultan Syah Alam Akbar II) yang memerintah tahun 1518 – 1521 M. Atas dasar inilah Arya Penangsang berusaha untuk merebut dan menduduki tahta kerajaan Demak. Sedangkan faktor ekstern yaitu munculnya aksi saling mendukung dari para wali yang memiliki calon-calon pengganti dari Sultan Trenggono turut mewarnai situasi politik di dalam kerajaan.

Dalam buku Babad Demak disebutkan bahwa Sunan Giri tetap mencalonkan Sunan Prawoto untuk menjadi Sultan Demak tetapi Sunan Prawoto sendiri telah tercemar pribadinya karena tertuduh membunuh Pangeran Sekar Sedo Ing Lepen. Sedangkan suara Sunan Kudus lain lagi, beliau mencalonkan Arya Penangsang (Adipati Jipang), karena Arya Penangsang adalah pewaris (keturunan) langsung Sultan Demak dari garis laki-laki yang tertua, kecuali itu Arya Penangsang adalah orang yang mempunyai sikap kepribadian yang teguh dan pemberani.

Sunan Kalijaga beliau mencalonkan Hadiwijaya (Adipati Pajang) atau sering disebut juga dengan nama “ Joko Tingkir / Maskarebet”. Joko Tingkir adalah menantu Sultan Trenggono. Sikap pencalonan Sunan Kalijaga terhadap Pangeran Hadiwijaya disertai dengan alasan bahwa jika yang tampil Pangeran Hadiwijaya, maka pusat kesultanan Demak Bintoro akan dapat dipindahkan ke Pajang, sebab apabila masih di Demak, agama Islam kurang berkembang, sebaliknya akan lebih berkembang pesat apabila pusat kesultanan itu berada di Pedalaman (di Pajang).

Sikap dan pendapat dari Sunan Kalijaga ini tampaknya kurang disetujui oleh Sunan Kudus, karena apabila pusat kerajaan dipindahkan di pedalaman (Pajang) maka sangat dikhawatirkan ajaran Islam yang mulia, terutama menyangkut bidang Tasawuf, besar kemungkinannya bercampur dengan ajaran “mistik” atau Klenik sedangkan Sunan Kudus sedang mengajarkan ajarannya “Wuluang Reh” / penyerahan. Dari pendapat ini menunjukkan bahwa Sunan Kudus tidak setuju dengan sikap dan pendapat Sunan Kalijaga yang mencalonkan Hadiwijaya sebagai pengganti dari Sultan Trenggono.

Situasi politik semakin meruncing dan tambah memanas, sehingga Arya Penangsang mengambil sikap, karena merasa dialah yang lebih berhak menduduki tahta kerajaan Demak Bintoro, maka dengan gerak cepat terlebih dahulu menyingkirkan Sunan Prawoto
dengan pertimbangan, Sunan Prawoto lah yang membunuh ayahnya, kedua dialah yang menjadi saingan berat dalam perebutan kekuasaan itu, akhirnya Sunan Prawoto mati terbunuh beserta isterinya oleh budak suruhan Arya Penangsang / “Soreng Pati” yang bernama “Rungkut”, pada tahun 1546. Setelah Sunan Prawoto wafat target berikutnya Joko Tingkir menantu dari Sulltan Trenggono, karena dianggap berambisi untuk menduduki tahta dari Kerajaan Demak.

Situasi politikyang kian meruncing dan memanas menjadi suasana semakin tidak menentu. Prahara perang saudara ini disebabkan oleh api dendam Arya Penangsang yang berhasrat untuk membalas dendam atas kematian ayahandanya dan ambisi menduduki tahta kerajaan Demak Bintoro yang membuat keselamatan jiwa dari keturunan Sunan Prawoto termasuk jiwa Rr. Ayu Semangkin.

Pada waktu Rr. Ayu Semangkin dilahirkan kerajaan dalam suasana penuh ketegangan sehingga ia diberi gelar ‘Ratu Mas Kagaluhan”, yang artinya “galau / was-was. Sunan Prawoto beserta isterinya merasa “galau” / “cemas” karena jiwanya diancam oleh Arya Penangsang.

Sejak dilahirkan Rr. Ayu Semangkin telah menjadi anak yatim piatu sehingga hidupnya penuh penderitaan. Selain itu jiwa keluarganya terancam oleh para Surengpati / pembunuh bayaran dari Arya Penangsang (Aryo Jipang). Keadaan inilah yang menghantui ketentraman keluarga mendiang Sunan Prawoto.

Setelah Sunan Prawoto dan isterinya wafat dibunuh oleh budak suruhan Arya Penangsang yang bernama “Rungkut” kehidupan keluarganya tidak tentram karena selalu mendapatkan ancaman dan teror dari para pengikut Arya Penangsang sehingga akan mengganggu keselamatan jiwanya. Selain itu suasana politik yang memanas menyebabkan Ratu Kalinyamat dan Pangeran Hadlirin berusaha untuk menyelamatkan keluarga Sunan Prawoto yang tidak lain kakak kandungnya.

Maka Pangeran Haryo Panggiri, Ratu Prihatin dan Rr. Ayu mas Semangkin berusaha dilindungi dan diasuh agar jiwanya selamat. Sedangkan Rr. Ayu Mas Semangkin dijadikan sebagai anak angkat Ratu Kalinyamat dan dipindahkan dari Prawoto ke Jepara yaitu Keraton Kalinyamatan (lokasinya di sekitar kawasan pabrik padi Bonjot yang sekarang digunakan sebagai gudang penampungan pupuk pertanian. Letak lokasinya tersebut berjarak kurang lebih satu kilometer sebelah utara dari jalan pertigaan masjid Purwogondo yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Kalinyamatan).

Salah satu prajurit yang turut di gladi perang adalah putri angkatnya sendiri yaitu Rr. Ayu Semangkin dan Rr. Ayu Prihatin. Rr. Ayu Semangkin selalu digladi oleh para tamtama kerajaan hingga memiliki oleh kanuragan cukup tinggi tanpa pilih tanding. Rr. Ayu Semangkin yang telah tumbuh menjadi seorang dewasa sangat giat berlatih dan tekun belajar dibawah bimbingan bibinya Ratu Kalinyamat. Selain belajar ilmu kanuragan dia juga mempelajari ilmu-ilmu agama Islam serta ilmu-ilmu batin untuk menempa dirinya. Ilmu kanuragan digunakan untuk melindungi diri dari musuh terutama dari para pengikut Arya Penangsang. Motivasi dan semangat yang mambara di hati Rr. Ayu Semangkin karena adanya bara api dendam kepada para pengikut Arya Penangsang yagn telah membunuh ayahnya. Ketekunan dan keprigelan Rr. Ayu Semangkin kemudian dijadikan Senopati Putri dari Kerajaan Jepara. Keadaan ini menyebabkan kerajaan Jepara memperoleh kebesaran dan mencapai puncak kejayaannya.

Kebesaran kekuasaan Ratu Kalinyamat dapat diketahui dari sumber sejarah yang ditulis oleh De Coutu dalam bukunya “Da Asia” menyebutkan “Rainha de Jepara, senhora poderosa e rica” artinya raja Jepara seorang perempuan yang kaya dan mempunyai kekuasaan besar. Kekuasaan besar ditunjukkan pada 1550 dan 1574 membantu kerajaan Johor untuk mengadakan penyerangan terhadap
kekuatan Portugis di Malaka. Pada tahun 1550 Ratu Kalinyamat mengirimkan 40 kapal perangnya dan 200 orang prajurit pilihan. Sedangkan pada tahun 1574 mengirimkan pasukan sebanyak 15.000 orang dengan 300 kapal perang dan 80 buah Jung besar, namun kedua kali penyerangan itu tidak berhasil dikarenakan strategi perang yang digunakan dapat dipatahkan. Untuk menyelesaikan masalah perang tersebut maka Ratu Kalinyamat bersedia berunding dengan Portugis yang hasilnya mengecewakan. Dalam perundingan tersebut Portugis menuntut untuk menyerahkan enam kapal perangnya dan seluruh amunisinya serta bahan makanan yang dibawanya.

Kekalahan pasukan Ratu Kalinyamat membawa kerugian yang sangat besar sehingga akan berdampak kemunduran bagi kerajaan Kalinyatamatan. Setelah berkuasa cukup lama Ratu Kalinyamat pulang Ke rahmatullah, akan tetapi tidak diketahui tahun kapan beliau wafat dan peristiwa apa kemangkatan kanjeng ratu ini tidak diketahui secara pasti. Namun ada sumber yang mengatakan bahwa beliau wafat kira-kira pada tahun 1579 Masehi.

Setelah kemangkatan Ratu Kalinyamat maka kekuasaan pemerintahan diserahkan kepada putra angkatnya yang bernama “Pangeran Jepara” yaitu putra Raja Hasanuddin dari Banten, tetapi banyak terjadi pemberontakan di Pajang. Pada tahun 1578 Kerajaan Pajang runtuh dan diikuti oleh kerajaan Jepara keruntuhan di tahun 1590 M.

MENJADI ISTRI SELIR SUTOWIJOYO
Setelah Sutowijoyo berhasil mengalahkan Aryo Penangsang (Adipati Jipang) sesuai janjinya Ratu Kalinyamat menghadiahkan kedua putri angkatnya Rr.Ayu Mas Semangkin dan Rr. Ayu Prihatin diperistri oleh Raden Sutowijoyo dan selanjutnya diboyong dari Jepara ke Pajang. Waktu itu Sutowijoyo menjadi Senopati perang di Kerajaan Pajang. Pada saat inilah Rr. Ayu Semangkin dan Rr Ayu Prihatin mendalami olah kanuragan dan mulai tertarik untuk mulai berlatih perang bersama-sama prajurit Pajang Rr. Mas Semangkin sejak di keraton Kalinyamat dulu, sering berlatih olah kanuragan dan turut mendampigi Ratu Kalinyamat dalam melatih para prajuritnya. Kebiasaan itu juga dilakukannya saat mendampingi suaminya Sutowijoyo di arena latihan maupun di palagan / di tengah-tengah peperangan. Rr Ayu Semangkin dan Sutowijoyo dikenal sebagai senopati pilih tandingyang sangatditakuti oleh para musuh-musuhnya.

Setelah sekian lama mengabdi kepada Sultan Hadiwijaya (ayah angkatnya) bersama Rr. Ayu Semangkin di Pajang kemudian terbetik niat untuk menagih janji hadiah yang pernah dijanjikan oleh Sultan Hadiwijaya ketika sayembara barang siapa yang dapat mengalahkan Arya Penangsang maka akan dihadiahi bumi Pati dan hutan Mentaok. Sultan Hadiwijaya baru menepati satu janjinya yakni memberikan hadiah bumi Pati yang kemudian diserahkan kepada Ki Penjawi sedangkan hutan Mentaok tak kunjung diberikan sehingga Ki Juru Mertani dan Sutowijoyo diam-diam meninggalkan istana Pajang untuk membabat hutan Mentaok yang kelak menjadi kerajaan Mataram.

Setelah meninggalkan PajangKi Juru Mertani dan Sutowijoyo kemudian membabat hutan Mentaok dan mendirikan Pesanggrahan di kota Gede dekat Yogyakarta. Sutowijoyo, Ki Ageng Pemanahan dan Rr. Ayu Semangkin dan Rr Ayu Prihatin beserta para pengikutnya turut mesanggrah di kota Gede tersebut. Selain itu senopati perang kerajaan Pajang ini juga ahli spiritual mengadakan interaksi dengan alam gaib penguasa laut selatan yang bernama “Nyai Loro Kidul”. Beliau bersemedi ditemani Ki Juru Mertani duduk disebuah batu hitam yang kini dikenal dengan nama batu gilang. Batu gilang tersebut sebagai tanda bukti bekas telapak kaki dan tempat duduk yang membekas hingga sekarang. Di atas batu gilang itulah senopati Sutowijoyo memperoleh pulung kerajaan seingga kelak menjadi raja di tanah jawa.

Pada saat inilah kelak menjadi embrio kesalah pahaman antara Pajang dan Mataram. Kesalahpaaman ini muncul ketika perilaku pembangkangan oleh Senopati Mataram (Raden Ngabehi Loring Pasar) putra dari Ki Ageng Pemanahan (Kyai Gede Mataram), Ia menjadi senopati Mataram menggantikan ayahnya atas perhatian raja Pajang dengan berbagai persyaratan, antara lain berkewajiban menghadap raja Pajang setiap tahun sebagai ukuran kesetiaannya. Namun apa yang terjadi, Senopati(Raden Ngabehi) pada tahun pertama diberi kelonggaran tidak diwajibkan menghadap ke Pajang. Tetapi kelonggaran itu justru disalahgunakan kesempatan. Ia menyuruh rakyat Mataram membuat batu bata guna mendirikan tembok benteng, dan pada tahun berikutnya ia pun tetap tidak menghadap ke Pajang.

Kyai Gede Mataram dalam waktu singkat dapat menjadikan daerahnya sangat maju. Beliau sendiri tidak mengecap hasil usahanya karena meninggal pada tahun 1575 tetapi puteranya yang bernama Sutowijoyo, melanjutkan usaha itu dengan giat. Sutowijoyo dikenal sebagai orang yang gagah berani. Mahir dalam perang dan karena itu nantinya lebih terkenal sebagai Senopati ing Alaga (Panglima perang). Sementara itu di Pajang terjadi perubahan yang sangat besar. Joko Tingkir meninggal pada tahun 1582.
Anaknya pangeran Benowo disingkirkan oleh pangeran Pangiri (dari Demak) dan dijadikan Adipati di Jipang. Maka sebagai sultan Pajang kini bertahtalah Arya Pangiri yang melanjutkan daerah Demak. Sultan baru ini dengan tindakan-tindakannya yang merugikan rakyat segera menimbulkan rasa tidak senang di mana-mana.
Kenyataan ini merupakan kesempatan yang baik bagi Pangeran Benowo untuk merebut kembali kekuasaannya. Ia meminta bantuan kepada Senopati dari Mataram, yang juga menginginkan robohnya Kerajaan Pajang dan sudah terlebih dahulu mengambil langkah-langkah untuk melepaskan daerahnya dari Pajang itu. Pajang diserang dari dua jurusan, dan Arya Pangiri menyerah pada Senopati. Pangeran sendiri tidak sanggup kalau harus menghadapi saudara angkatnya itu, maka bersedia mengakui kekuasaan Senopati. Keraton Pajang dipindah ke Mataram, dan berdirilah kerajaan Mataram (1586).

Pengangkatan Senopati oleh dirinya sendiri menjadi raja Mataram dengan gelar “Panembahan Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama Kalifatullah”. Bila diartikan “Panembahan yaitu orang yang disembah / dijunjung tinggi (dihormati). “Senopati” artinya : panglima perang. “Ing Alaga” artinya : ditengah-tengah palagan / medan pertempuran, Sayidin Panatagama artinya “kepala agama”, “Kalifatullah” artinya “wakil dari Allah”.

Setelah pengangkatan dirinya menjadi raja Mataram mendapat banyak tantangan, lebih-lebih oleh karena segera menunjukkan politik ekspansinya. Bentrokan pertama terjadi dalam tahun 1586, yaitu dengan Surabaya. Dengan perantaraan Sunan Giri pertumpahan darah yang lebih hebat dapat dicegah. Surabaya tidak ditundukkan, tetapi bersedia mengakui kekuasaan Senopati.
Dalam tahun itu juga Senopati menghadapi perlawanan kuat dari Madiun Ponorogo namun dapat segera dipatahkan. Pada tahun 1587 Senopati mampu menggempur Pasuruhan bersama Panarukkan dan pada tahun 1595 menaklukkan Cirebon dan Galuh. Pati dan Demak juga membrontak bahkan tentara mereka dapat mendekati ibukota Mataram. Tetapi pasukan Senopati yang dipimpin oleh Rr. Ayu Semangkin, Ki Tanujayan, Ki Brojo Penggingtaan dan keempat perwira yang dipimpin oleh Tumenggung Sukolilo yang bernama “Surokerto” dapat meredam pemberontakan.

Setelah perluasan ke Jawa Tengah bagian pesisir utara, Jawa Timur dan Jawa Barat (Cirebon dan Panarukkan) Senopati wafat tahun 1601 dan kemudian dimakamkan di Kota Gede Yogyakarta bersanding dengan Rr. Ayu Prihatin Garwo Selir Sutowijoyo yang
dipersembahkan oleh Ratu Kalinyamat ketika dapat mengalahkan Arya Penangsang. Sedangkan Rr. Ayu Semangkin mendirikan Padepokan di Mayong dan mendirikan rumahnya di Mayonglor hingga wafat.

BERTINDAK SEBAGAI SENOPATI PERANG
Pada awal masa pemerintahan Mataram, sisa-sisa prajurit Jipang yang masih setia kepada Arya Penangsang, senantiasa menciptakan berbagai bentuk kerusuhan seperti pencurian, perampokan, pemerkosaan, pembunuhan, serta bentuk-bentuk tindak kejahatan lainnya. Hal ini mereka lakukan demi menciptakan ketidaktenteraman dan keresahan bagi masyarakat di Kasultanan Mataram. Daerah kekuasaan kerajaan Mataram yang seringkali terjadi huru hara yaitu di wilayah Pati, Jepara (lereng Muria), karena wilayahnya terlalu jauh dari pusat pemerintahan kerajaan Mataram.

Selain berbagai kerusuhan dan huru-hara juga terjadi di sekitar Mayong, Jepara. Pada permulaan abad 17, Pati Pesantenan yang dipimpin oleh Bupati Wasis Joyo Kusumo (Bupati Pragola Pati II) bermaksud membangkang mengadakan “kraman” dari kekuasaan Sultan di Mataram. Pembangkangan yang dilakukan oleh Bupati Pati terhadap Kasultanan Mataram ditunjukkan dengan sikapnya yang tidak mau membayar upeti dan tidak mau tunduk kepada perintah Sultan Mataram. Sikap tersebut ditandai dengan berkali-kali tidak hadir pada saat pisowanan agung yang digelar oleh Sultan. Untuk mengetahui kebenaran itu maka dikirimlah telik sandi ke Pati, Jepara dan daerah-daerah lain yang dianggap rawan tersebut. Setelah telik sandi dikirim ke tempat kerusuhan tersebut kemudian melaporkan kebenaran informasi kepada Sultan Mataram.

Atas kebenaran laporan tersebut Sultan Mataram kemudian memerintahkan para perwiranya untuk menumpas huru hara dan kraman di sekitar lerang pegunungan Muria.
Mendengar berita tentang keadaan yang sangat merisaukan dan membahayakan Kasultanan Mataram ini, maka Rr. Ayu Semangkin sebagai salah satu dari Senopati Putri pada waktu Ratu Kalinyamat terketuk dan terpanggil hatinya turut menyelesaikan berbagai macam permasalahan yang menyangkut keamanan di wilayah lereng pegunungan Muria. Rr. Ayu Semangkin merasa berutang budi dengan masyarakat di wilayah Jepara karena bertahun-tahun beliau hidup dan dibesarkan di istana Kalinyamatan serta telah digembleng berbagai ilmu kanuragan, ilmu keprajuritan dan ilmu spriritual.

Rr. Ayu Semangkin dengan keteguhan hatinya untuk turut serta menumpas huru-hara dan “kraman” yang dilakukan oleh Bupati Pati Wasis Joyo Kusumo beserta para sorengpati-sorengpati pengikut Arya Penangsang. Darah keprajuritan dan keprawiraan yang mengalir dalam jiwanya hal ini menyebabkan beliau berkeinginan untuk turun di tengah-tengah palagan dan memimpin sendiri penumpasan tersebut. Keteguhan hatinya untuk menjadi senopati perang melawan Bupati Pati dan para sorang-soreng pati pengikut
Aryo Penangsang ini disampaikannya sewaktu ada pisowanan agung / musyawarah agung yang membahas tentang permasalahan gangguan keamanan di lereng pegunungan Muria. Pada pertemuan ini Rr. Ayu Semangkin memohon ijin untuk menumpas kraman tersebut tetapi Sultan Mataram tidak memperkenankan turut dalam penumpasan tersebut karena mengkhawatirkan keselamatannya. Namun Rr. Ayu Semangkin mendesak dan meyakinkan kepada sultan hingga akhirnya merestui dan mengijinkan untuk turut menumpas huru hara dan kraman tersebut. Setelah mendapatkan ijin dan restu dari Sultan Mataram maka Rr. Ayu Mas Semangkin pergi ke tengah-tengah palagan dengan didampingi oleh dua orang tamtama perang yang sakti mandraguna yakni Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanujayan.

Selain rombongan prajurit dari Rr. Ayu Semangkin, Panembahan Senopati juga mengirimkan empat perwira terbaiknya guna membantu Rr. Ayu Semangkin yang dikhususkan untuk menumpas kraman yang dilakukan oleh Bupati Pati Wasis Joyo Kusumo. Bupati Pati dikenal sebagai salah satu seorang yang memiliki ilmu kanuragan yang tinggi dan daya kesaktian yang menakjubkan serta memiliki pusaka “Kere Wojo” rampasan dari “Baron Sekeder” yang dapat menambah kesaktiannya dalam pepatah Jawa “Ora tedhas Tapak Palune Pandhe sisaning gurendo”. Keempat perwira masing-masing Kanjeng Raden Tumenggung Cinde Amoh, Kanjeng Tumenggung Roro Meladi, orang menyebut Roro Molo, Kajeng Raden Tumenggung Candang Lawe orang menyebut Raden Slendar, Kanjeng Raden Tumenggung Samirono, orang menyebut Raden Sembrono. Keempat perwira beserta para prajurit dan pasukannya setelah mendapatkan tugas dan restu dari Kanjeng Sultan kemudian segera berangkat ke medan perang.

Keempat perwira tersebut mendapatkan tugas masing-masing sesuai dengan strategi yang digunakan dalam berperang. Suro Kadam mendapat tugas sebagai penunjuk jalan dan sekaligus sebagai prajurit telik sandi. Sebagai prajurit Telik Sandi Suro Kadam bertugas untuk sebagai mata-mata. Agar berhasil dalam menjalankan tugas maka dia mengadakan penyamaran dan bergabung dengan masyarakat. Suro Kadam menjalankan tugasnya dengan penuh keberanian dan kehati-hatian. Suro Kadam dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh Suro Kerto adik kandungnya sendiri. Atas keberanian dan kehati-hatian tersebut Suro Kadam dapat memberikan informasi yang tepat tentang keberadaan Bupati Wasis Joyo Kusumo beserta pasukannya.

Dengan informasi yang tepat inilah keempat perwira dari Kasultanan Mataram kemudian mengadakan koordinasi, bermusyawarah untuk mengatur strategi perangnya agar dapat mengalahkan pasukan Bupati Pati Wasis Joyo Kusumo. Berkat kejituan strategi perang yang digunakan dan semangat dari para prajurit Mataram untuk memenangkan peperangan maka dalam waktu yang cukup singkat Bupati Wasis Joyo Kusumo dan pasukannya dapat ditakukkan.

Sepulang dari peperangan, para prajurit bersemayam / mesanggrah di Kademangan Sukolilo. Saat-saat itu bertepatan dengan Maulid Nabi Muhammad SAW, tanggal 12 Maulud. Para prajurit terbiasa memperingati di setiap tanggal 12 Maulud di Keraton Mataram diadakan upacara Sekaten untuk itu mereka mengadakan upacara Skatenan di Sukolilo, sebagaimana adat Kasultanan setiap tahunnya. Keempat perwira tersebut kemudian mohon ijin untuk tinggal di Sukolilo guna mengawasi para pengikut Bupati Pati Wasis Joyo Kusumo. Panembahan Senopati mengijinkan membangun tenpat tinggal disana serta memberikan “palilah” (ijin), di Kademangan Sukolilo untuk melestarikan Maulid Nabi dengan mengadakan perayaan yang mirip Skaten yang disebutnya Meron, yang dalam bahasa Jawa dimaksudkan ramene tiron-tiron.

Sedangkan tempat berkumpulnya para Tumenggung untuk bertirakat sekarang dikeramatkan dengan nama Talang Tumenggung, sedang daerah tempat mesanggrah, sekarang menjadi Dukuh Pesanggrahan. Diantara keempat Tumenggung tersebut ada yang meninggal di Kademangan Sukolilo, yaitu Kanjeng Raden Tumenggung Cinde Among dan dimakamkan di makan Sentono Pesanggrahan (300 meter arah Timur Laut Talang Tumenggung)

Berkat kerjasama Pasukan Rr. Ayu Semangkin dan Tumenggung Sukolilo beserta para prajurit dan pengikut-pengikutnya maka Bupati Pati Wasis Joyo Kusumo dapat ditumpas. Kemudian keempat perwira tersebut memutuskan untuk menetap dan membangun Desa Sukolilo dan sekitarnya. Sedangkan Rr. Ayu Semangkin melanjutkan perjuangan di Mayong untuk menumpas para perusuh dan pengikut setia Arya Penangsang yang senantiasa membuat huru hara dan kerusuhan seperti perampokan, pemerkosaan, dan pembunuhan sehingga membuat keresahan dan ketidaktentraman masyarakat di Mayong dan sekitarnya.

Berkat semangat dan kegigihan serta kemahiran dari para prajurit Mataram lebih-lebih Lurah Tamtono Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanujayan. Maka pasukan Rr. Ayu Semangkin dalam waktu yang cukup singkat dapat menumpas para perusuh sehingga keadaan menjadi tenang dan pulih kembali seperti sedia kala. Namun Rr. Ayu Mas Semangkin masih khawatir terjadi kerusuhan lagi sehingga beliau beserta para pengikutnya untuk mendirikan pesanggrahan dan sekaligus membabat hutan di Mayong Lor sebagai tempat tinggalnya.

MENDIRIKAN PADEPOKAN DI WILAYAH MAYONG
Berkat kegigihan, kedigjayaan, keperwiraan dan ketangkasan dalam olah kanuragan Rr. Ayu Mas Semangkin dalam memimpin pasukannya sehingga para perusuh perlawanan dalam waktu singkat dapat dipatahkan bahkan menyerah dan bertekuklutut dihadapan para prajurit mataram. Suasana masyarakat diwilayah lereng pegunungan Muria khususnya di daerah Mayong dan sekitarnya mulai kembali aman, dan tentram. Kehidupan masyarakat kembali seperti semula karena masyarakat telah dapat beraktifitas / bekerja dengan tentram.

Tugas suci Rr. Ayu Mas Semangking beserta pasukannya telah dilaksanakan dengan cepat dan sukses, namun beliau dan pasukannya tidak segera pulang ke Mataram , mengingat serangan musuh mungkin bisa terulang lagi maka Kanjeng Ibu Mas Semangking mengerahkan kepada kedua tamtama dan para prajuritnya untuk sementara waktu menumpang di sebuah di padepokan yaitu di sebuah tempat yang dihuni oleh kakek tua. Penghuni padepokan ini adalah seorang pengembara dari pulau Dewata (Bali) dari Singaraja
maka tempat tersebut sampai saat sekarang disebut desa Singorojo. Letak desa tersebut berjarak kurang lebih dua kilometer arah utara dari desa Pelemkerep Mayong. Kakek tua penghuni padepokan tersebut bernama “Idha Gurnandhi” yang lebih dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Ki Datuk Singorojo. Selama rombongan prajurit Mataram berada di tempat Ki Datuk Singorojo, perusuh-perusuh tidak dapat berani datang lagi. Kemudian Kanjeng Ibu Mas yang didampngi oleh kedua tamtama dan dikawal oleh beberapa prajurit Mataram memutuskan untuk tidak kembali ke Mataram. Kanjeng Ibu Mas bersama kedua tamtama (Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanujaya) yang dikawal oleh prajurit Mataram ingin menetap di daerah baru. Dari tempat Ki Datuk Singorojo, rombongan prajurit Mataram bersama Kanjeng Ibu Mas Semangkin dan kedua Lurah tamtomo menuju kearah selatan kurang lebih 2 kilometer dari Desa Singorojo dan sampailah rombongan tersebut di daerah yang agak landai dan masih ditumbuhi oleh pohon semak-semak belukar.Kanjeng Ibu Mas Semangkin bersama rombongan memutuskan untuk membabat hutan tersebut dan dibagi menjadi dua kelompok.

Kelompok pertama terdiri dari Rr. Ayu Semangkin dan Ki Brojo Penggingtaan membabat hutan diwilayah utara. Sedankan dibagian selatan dipimpin oleh Ki Tanujayan bersama sebagian prajuritnya. Pohon-pohon mulai ditebang semak belukar dibakar dan puing-puing disingkirkan. Tanpa terasa pekerjaan tersebut telah memakan waktu berbulan-bulan lamanya. Setelah semua itu dikerjakan maka kedua kelompok rombongan prajurit Mataram tersebut memutuskan untuk tetap tinggal di daerah baru tersebut. Daerah baru tersebut kemudian diberi nama desa ”Mayong”.

Daerah baru bagian utara Kanjeng Ibu Mas yang didampingi ki Brojo penggingtaan bersama prajurit Mataram mendirikan sebuah padepokan sebagai tempat tinggal sedangkan di daerah baru bagian selatan Ki Tanujayan bersama prajurit Mataram atas perintah Kanjeng Ibu Mas juga mendirikan padepokan sebagai tempat tinggal. Di daerah baru tersebut kedua Lurah Tamtama mengajarkan ilmu-ilmunya baik ilmu kanuragan maupun ilmu kerohanian, budi luhur, kesucian batin terhadap sesama dan suka menolong, penyabar serta rendah hati dan masih banyak lagi mengenai hal-hal menuju kebaikan. Lambat laun berita tersebut tersiar sampai kedaerah-daerah lainnya. Akhirnya banyak orang yang berdatangan untuk
meminta pertolongan atau datang untuk menimba ilmu serta banyak pula yang dating berguru bahkan adapula yang datang untuk menetap menjadi murid dan penghuni baru ditempat itu. Oleh karena kearifan dan kebijaksanaan Kanjeng Mas juga Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanunjayan bersama prajurit-prajurit ditempat baru masing-masing, yang pada masa sebelumnya sering terjadi keganasan perampok maka sejak dihuninya daerah tersebut oleh penghuni baru kerusuhan-kerusuhan tidak terjadi lagi. Berkat kebesaran ketinggian budi serta kearifan Kanjeng Ibu Mas bersama kedua Tamtama Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanunjayan maka mereka diangkat menjadi sesepuh dan cikal bakal dari masyarakat Mayonr Lor dan Mayong Kidul.

Setelah beberapa lama singgah di padepokan Datuk Singorojo, Roro Ayu Semangkin bersama dengan Ki Lurah Tamtama, Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanujayan memutuskan untuk tidak kembali ke Mataram dan mendirikan Padepokan di Mayong Lor dan Mayong Kidul. Setelah padepokan berdiri banyak murid-murid yang datang dari wilayah Jepara, Kudus, Demak, dan Pati untuk berguru kanuragan dan ilmuilmu kejawen serta ilmu-ilmu agama kepada tokoh-tokoh tersebut.

Para murid padepokan dari Roro Ayu Semangkin, Ki Brojo Pengingtaan dan Ki Tanujayan selain berguru kepadanya juga banyak berguru di padepokan Datuk Singorojo yang kebetulan ahli dalam pembuatan ukit-ukiran dan keramik. Keahlian Datuk Singorojoini kemudian ditularkan kepada murid-murid di padepokan tersebut. Dalam waktu singkat padepokan tersebut banyak kedatangan murid untuk berguru ilmu kanuragan, kejawen, keagamaan dan yang terpenting yaitu belajar untuk membuat gerabah. Sejalan dengan perjalanan waktu muncul perkampungan Undagen di desa Mayong Lor yang mengembangkan gerabah, genteng, keramik dan seni ukir.
Dalam perkembanganyya maka pada tahun 1937 Belanda mendirikan pasar Mayong untuk menampung berbagai macam barang-barang kerajinan gerabah yang digunakan untuk kepentingan rumah tangga dan berbagai macam mainan seperti manuk-manukan, gajah-gajahan, sapi-sapian, terbang-terbangan dan sebagainya. Keahlian masyarakat Mayong Lor dalam membuat gerabah dan teknik pembuatan keramik maka di Mayong Lor didirikan pabrik keramik. Selain itu Mayong Lor juga dijadikan pusat kawedanan, kecamatan dan di Kecamatan Mayong inipun telah lahir seorang pahlawanan wanita yang bernama “ RA. Kartini” yang kini tempat ari-arinya telah dibangun di dekat pendopo kecamatan Mayong.

Berdasarkan riwayat tentang Kanjeng Ibu Mas yang dikisahkan oleh para pinisepuh bahwa sejak kecil Rr. Ayu Mas Semangkin telah terbiasa dengan pola hidup yang bersahaja dan bahkan cenderung dengan tata kehidupan rakyat kecil serta kehidupan yang dilandaskan atas ketentuan kepercayaan yang beliau anut. Bentuk kepasrahan diri kepada Tuhan YME secara tulus menjadi suatu nafas kehidupan yang senantiasa beliau pelihara hingga akhit hayatnya. Dengan ketulusan, kejujuran dan kesucian batin yang senantiasa beliau pelihara dalam kehidupannya telah menempa dan membentuk jiwa beliau yang benar-benar rendah hati jujur berjiea tulus penyabar dan pengayom bagi masyarakat khususnya masyarakat bawah.Rasa rendah hati ini dibuktikan dengan kerelaan beliau yang jasadnya hanya dikebumikan disuatu makam di desa kecil desa Mayong Lor yang letaknya sangat jauh dari kemegahan dari makam kerabat keratin. Dengan demikian bukanlah suatu hal yang mustahil apabila beliau termasuk salah satu hamba yang dekat dan dikasihi Allah Yang Maha Kuasa.

RORO AYU MAS SEMANGKIN WAFAT
Setelah mendirikan Padepokan Agung di Mayong bersama Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanujayan. Rr. Ayu Semangkin kemudian memutuskan untuk menetap di desa Mayonglor dan mendirikan pesanggrahan serta rumah persinggahan di Mayonglor yang kini bekasnya masih ada tetapi hanya tinggal puing-puingnya. Beliau mengabdikan dirinya untuk bersama-sama masyarakat membangun
desa Mayong Lor maupun Mayong Kidul. Selain beliau bertempat tinggal di Mayong Lor sesekali juga sowan di Kasultanan Mataram. Dan setelah beliau mengenalkan putranya bernama Danang Syarif dan Danang Sirokol kepada ayahhandanya Panembahan Senopati dan akhirnya kedua putranya ini diangkat menjadi senopati perang. Tak lama kemudian beliau wafat dan dimakamkan di Desa Mayong Lor.

Masyarakat Mayong berkeyakinan bahwa kesucian batin dan kedekatan Kanjeng Ibu Mas dengan sang pencipta, maka banyak warga masyarakat yang memohon kepada Allah SWT dengan berwasilah kepada Kanjeng Ibu Mas. Permohonan umat manusia kepada Tuhannya dengan cara berwasilah kepada leluhur yang dianggap suci dan dekat kepada Allah tidak dilarang menurut agama Islam. Permohonan ini terjadi karena merasa diri mereka tidak sebersih dan sesuci para leluhur yang diwasilahilah ini diharapkan agar hajat mereka kehendaki dapat terkabul.

Berdasarkan anggapan masyarakat tentang diri Rr. Ayu Mas Semangkin sebagai seorang hamba dan kekasih Allah yang dipilih karena sepanjang hidupnya mengabdikan dirinya demi keamanan, ketentraman masyarakat di wilayah Mayong serta turut membangun kehidupan masyarakat menuju kesejahteraan. Untuk menghormati jasanya ini maka beliau dijadikan sebagai cikal bakal dan dimakamkan di Dukuh Gleget Desa Mayonglor yang kini setiap hari dan hari-hari tertentu makamnya dijadikan sebagai tempat para peziarah, dari berbagai golongan masyarakat. Dan setiap tahunnya tepat pada tanggal 10 Suro / Muharram diadakan upacara bukak luwur.

5 komentar:

  1. terima kasih, menambah perbendaharaan sejrah

    BalasHapus
  2. sudah baca novelnya nasirun purwokartun mas? novel yang bagus ...

    BalasHapus
  3. sejarah mengajarkan nilai... nilai yang baik diambil untuk berbuat baik di kemudian hari...

    BalasHapus
  4. Kalo boleh tau ko Rr. Ayu Semangkin yang terliat , kalo gitu rRr Ayu Prihatin keturunan e siaapa aja ?
    Mksh

    BalasHapus
  5. Karangan tanpa literatur jadi ngawur nggladrah dan lucu

    BalasHapus